Image Source |
Saya termasuk salah seorang penggila bola, saya menggemari
olah raga menendang bola ini sejak duduk di bangku kelas dasar 14 tahun yang
lalu. Sebelumnya saya tidak mengenal sama sekali bagaimana olahraga ini, bahkan
saya pun tidak pernah mengetahui apa saja peraturan yang ada di dalam permainan
11 lawan 11 ini. Bahkan sebelum nya saya tidak mengerti bagaimana itu dan apa
yang menyebabkan seorang wasit menunjuk titik pinalti.
Pada akhirnya ayah saya memperkenalkan permainan ini pada
tahun 2002, saat itu tepat dengan diselenggarakannya Piala Dunia di Asia yang
pertama kalinya. Korea dan Jepang yang ditunjuk sebagai penyelenggara turnamen
akbar 4 tahunan tersebut menggelar hajatnya dengan meriah. Jangan heran jika
Piala Dunia ini hingar bingarnya sampai ke Negara kita tercinta Indonesia.
Saat itu Ayah saya yang kebetulan menggilai sepak bola “jogobonito”
nya Brazil memfavoritkan Negara ini sebagai calon juara Piala Dunia edisi kali
ini. Saya sempat kebingungan ketika iya menanyakan apa tim favorit saya pada
waktu itu, yang ada dalam fikiran saya hanyalah Francis dan Zinadine Zidane
yang berpredikat sebagai juara bertahan. Tapi sejujurnya saya sama sekali tidak
menggemari tim berjuluk “Les Blues” ini. Sampai pada akhirnya ayah saya
memberikan rekomendasi bahwa salah satu tim yang mempunyai tradisi luar biasa
di Piala Dunia adalah Italia.
Setelah mendengarnya, saya yang pada saat itu masih berusia
6 tahun mengiyakan perkataan ayah saya dan tentu saja kegirangan. Setidaknya
salah satu ikon dari Italia yang sangat lekat di telinga saya adalah “Sang
Pangeran” Fransesco Totti dan juga Alessanro Del Pierro, dan nama lain yang
lekat ditelinga saya adalah Franseco Coco, saya mengingatnya hanya karena
namanya mirip dengan sepupu saya yang paling nakal.
Sayang perjalanan “Gli Azurri” terhenti di perempat final sebelum
akhirnya tersingkir bisa dikatakan tidak terhormat oleh tuan rumah Korea
Selatan, bahkan sampai saat ini saya masih mempertanyakan kenapa Fransesco
Totti dikartu merah pada saat itu. Tentu yang berbahagia adalah ayah saya, tim “Selacao”
idolanya berhasil keluar sebagi kampiun. Saya pun ikut terpesona dengan permainan
indah Rivaldo cs pada saat itu.
Sejak saat itu saya sangat menggilai sepak bola, dan
akhirnya cinta pertama dalam dunia sepak bola saya tambatkan kepada timnas
Indonesia. Perjuangan dari Ilham Jaya Kusuma dan kawan-kawan pada saat
menghajar timnas Kamboja dengan skor 8-0 di Piala Tiger tahun 2004 menggugah
rasa nasionalisme saya untuk terus mendukun tim Merah Putih hingga detik ini. Namun
kecintaan saya terhadap tim Merah Putih baru bisa teraplikasikan pada tahun
2007, pada tahun tersebut Piala Asia diselenggarakan di empat Negara Asia
Tenggara, dan Indonesia adalah salah satunya dengan stadion Gelora Bung Karno
yang ditunjuk sebagai venue penyelenggara.
Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di stadion
terbesar Asia Tenggara tersebut, bernyanyi, bersorak, dan melompat kegirangan
saat Bambang Pamungkas mencetak gol yang membenamkan Bahrain di posisi juru
kunci. Dengan bangganya saya memakai jersey berlogo Garuda di dada, begitu juga
dengan syal yang bertuliskan “Ini Kandang Kita” yang dililitkan di leher.
Semua itu saya dapatkan dari seorang pedagang
yang jual jersey KW di sekitaran stadion. Entah berapa harganya saya sudah lupa,
yang jelas meskipun kala itu Timnas Indonesia tidak berhasil menembus babak
berikutnya, saya bangga menjadi supporter tim “Garuda”. Harapan tertinggi saya
adalah negeri ini berhasil meraih juara di semua ajang turnamen sepak bola.
EmoticonEmoticon